Kamis, 01 Oktober 2015

askep abses

BAB IKONSEP DASAR A.    PengertianAbses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga (rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995: 257). Menurut Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan.Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses Inguinal merupakan kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri setempat.
B.     Penyebab / Faktor PredisposisiUnderwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara lain:
1.      Infeksi mikrobialSalah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.

2.      Reaksi hipersentivitasReaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
3.      Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
4.      Bahan kimia iritan dan korosif   
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.
5.      Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.
C.    Gambaran KlinikSmeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi nyeri tekan. Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa manifestasi klinis pada Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses (Lewis, S.M et al, 2000: 589). Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak, terlihat jelas (lebih dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar luka, warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil atau demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).  D.    Anatomi / Patologi 
Rassner et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm, panikulus adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping epidermis dan dermis. Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium) dan fasia tubuh, membungkus dengan lapisannya yang relatif tebal.            

Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel lemak, jaringan ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi lemak (mikrolobuli, lobuli, pembuluh darah) dan ini semua diringkas dalam septa jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa fibrosa) mengukuhkan subkutis baik dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan bertindak sebagai jalan untuk pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk folikel, rambut dan kelenjar keringat sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat vena-vena besar (misalnya vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar getah bening regional superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai termoisolasi, depo energi (penimbunan lemak), fungsi pelindung dari faktor mekanik (lapisan pelindung dan lapisan penggeser antara korium dan fasia tubuh).Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan kulit. Melalui aliran darah, zat makanan dan zat asam disalurkan kelenjar getah bening membuat zat anti. Maksudnya untuk melindungi tubuh dari serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki kelenjar-kelenjar lemak dan kelenjar peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab. Bahan pelembab ini sekaligus sebagai pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit. Sedangkan kelenjar peluh sebagai pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh yang berlebihan.      Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat perubahan-perubahan berikut:1.      Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau atropi.
2.      Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan lemak (akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan lipogranuloma (makrofag/ lipofag atau pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium terminal)
3.      Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis terutama dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa jaringan ikat (panikulitis septal)  
Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh darah subkutan dan menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et al, 1995: 256).       
Gambar 3. Diagram Potongan Melintang Abses (EGC, 1995: 5)
 
Gambar 4. Anatomi Permukaan dari depan (khusunya inguinal) (Pearce, E.C, 2002: 32)
 
           
E.     Proses Penyembuhan Luka 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2000 : 397) mengemukakan proses penyembuhan luka sebagai berikut:1.      Fase Inflamasi atau lag fase. Berlangsung sampai hari kelima. Akibat luka terjadi perdarahan. Ikut keluar trombosit dan sel sel radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit.
Terjadi vasokontriksi dan proses penghentian perdarahan. Sel radang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema.Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan  pertautan luka sehingga disebut fase tertinggal (lag fase)
2.      Fase proliferasi atau fibroplasi. Berlangsung dari hari keenam sampai dengan 3 minggu. Terjadi proses proliferasi dan pembentukan fibroblas yang berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida dan serat kolagen, yang terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin. Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru ; membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi.                                                                   
3.      Fase Remodelling   atau fase resorpsi. Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal.
F.     PatofisiologiSjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk terjadi infeksi.Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood, J.C.E (1999: 246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton, A.C, 1995: 647-648).Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas.Sjamsuhidajat et al  (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi selama masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989: 21) sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94).
 G.     



x

pertahan tubuh terhadap tantangan imunologi

BAB I
TEORI LANDASAN

A.    Pengertian
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu.
Pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau nonspesifik (nature innate/ native) dan didapat atau spesifik (adaptive/ acquired).
Fungsi sistem imun: 
a.       Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh .
b.       Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak (debris sel) untuk perbaikan jaringan.
c.       Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

1.      Mekanisme kerja sistem imun
                              
Keberadaan mikroba patogen dapat menimbulkan dampak-dampak yang tidak diharapkan akan memicu sistem imun untuk melakukan tindakan dengan urutan mekanisme sebagai berikut : introduksi, persuasi, dan represi. 
Meskipun komplemen dapat diasosiasikan sesuai artinya, yaitu pelengkap, namun sesungguhnya fungsinya amatlah vital. Faktor komplemen bertugas untuk menganalisa masalah untuk selanjutnya mengenalkannya kepada imunoglobulin, untuk selanjutnya akan diolah dandipecah-pecah menjadi bagian-bagian molekul yang tidak berbahaya bagi tubuh. Setelah itu limfosit T bekerja dengan memakan mikroba patogen. Sel limfosit terdiri dari dua spesies besar, yaitu limfosit T dan B. Bila limfosit B kelak akan bermetamorfosa menjadi sel plasma dan selanjutnya akan menghasilkan imunoglobulin (G,A,M,D,E), maka sel T akan menjadi divisi T helper, T sitotoksik, dan T supresor. 
Dalam kondisi yang berat akan terjadi beberapa proses berikut : sel limfosit T akan meminimalisasi efek patogenik dari mikroba patogen dengan cara bekerjasama dengan antibodi untuk mengenali dan merubah antigen dari mikroba patogen menjadi serpihan asam amino melalui sebuah mekanisme yang disebut Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Selain itu sel limfosit T bersama dengan sel NK (Natural Killer) dan sel-sel dendritik dapat bertindak langsung secara represif untuk menghentikan kegiatan mikroba patogen yang destruktif melalui aktivitas kimiawi zat yang disebut perforin. Dalam beberapa kondisi khusus, sel limfosit T dapat memperoleh bantuan dari sel makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) alias sel penyaji antigen. 
Sedangkan Sel limfosit B bertugas untuk membangun sistem manajemen komunikasi terpadu di wilayah cairan tubuh (imunitas humoral). Bila ada antigen dari unsur asing yang masuk, maka sel limfosit B akan merespon dengan cara membentuk sel plasma yang spesifik untuk menghasilkan molekul imunoglobulin yang sesuai dengan karakteristik antigen dari unsur asing tersebut.
2.      Sel-sel imun non spesifik
Sel Fagosit Fagosit Agranulosit
a.       Sel Monosit : sel yang berasal dan matang di sum-sum tulang dimana setelah matang akan bermigrasi ke sirkulasi darah dan berfungsi sebagai fagosit
b.      Sel makrofag : diferensiasi dari sel monosit yang berada dalam sirkulasi. Ada 2 golongan, yaitu:
c.       Fagosit professional: monosit dan makrofag yang menempel pada permukaan dan akan memakan mikroorganisme asing yang masuk. Monosit dan makrofag juga mempunyai resepto interferon dan Migration Inhibition Factor (MIF). Selanjutanya monosit dan makrofag diaktifkan oleh Macrophage Activating Factor (MAF) yang dilepas oleh sel T yang disensitasi.
d.      Antigen Presenting Cell (APC): sel yang mengikat antigen asing yang masuk lalu meprosesnya sebelum dikenal oleh limfosit. Sel-sel yang dapat menjadi APC antara lain: kelenjar limfoid, sel Langerhans di kulit, Sel Kupffer di hati, sel mikrogrial di SSP dan sel B.
Fagosit Garnulosit
1.      Neutrofil : mempunyai reseptor untuk fraksi Fc antibody dan komplemen yang diaktifkan.
2.      Eosinofil: eosinofil dapat dirangsang untuk degranulasi sel dimana mediator yang dilepas dapat menginaktifkan mediator- mediator yang dilepas oleh mastosit/basofil pada reaksi alergi. eosinofil mengandung berbagai granul seperti Major Basic Protein (MBP), Eosinophil Cationic Protein (ECP), Eosinophil Derived Neurotoxin (EDN) & Eosinophil Peroxidase (EPO) yang besifat toksik dan dapat menghancurkan sel sasaran bila dilepas. 
3.      Sel Nol
Berupa Large Granular Lymphocyte (LGL) yang terbagi dalam sel NK (Natural Killer) dan sel K (Killer). Sel NK dapat membunuh sel tumor dengan cara nonspesifik tanpa bantuan antibody sedang sel K merupakan efektor Antibody Dependent Cell (ADCC) ynag dapat membunuh sel secara nonspesifik namun bila sel sasaran dilapisi antibody.
4.      Sel Mediator
Basofil dan Mastosit: melepaskan bahan-bahan yang mempunyai aktivitas biologic antara lain: meningkatkan permeabilitas vaskuler dan respons inflamasi. 
Trombosit: berfungsi pada homeostasis, memodulasi respons inflamasi, sitotoksik sebagai selefektor dan penyembuhan jaringan.
5.      Sel imun spesifik
Sel T
a.       Petanda Permukaan: mempunyai resptor sel yang dapat dibedakan dengan yang lain, beberapa macam sel T
b.       T11 : Penanda bahwa sel T sudang matang
c.       T 4 dan T8 : T4 berfungsi sebagai pengenalan molekul kelas II MHC dan T8 dalam pengenalankelas I MHC
d.      T3 : resptor yang diperlukan untukperangsangan sel T
e.       TcT (Terminal deoxyribonuckleotidyl Transferase) : enzim yang diperlukan untuk menemukan pre T cell
 Petanda Cluster Differentiation (CD) : berperan dalam meneruskan sinyal aktivasi yang datang dari luar sel ke dalam sel (bila ada interaksi antara antigen molekul MHC dan reseptor sel T)
f.       Petanda fungsional
     Mitogen dan lectin merupakan alamiah yang berkemampuan mengikat dan merangsang banyak klon limfoid untuk proliferasi dan diferensiasi.


Subkelas Sel T
a.       Sel Th (T Helper) : menolong sel b dalam memproduksi antibody
b.      Sel Ts (T Supresor): menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Sibagi menjadi Sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts nonspesifik
c.       Sel Tdh / Td (delayed hypersensivity): berperan pada pengerahan makrofag ddan sel inflamasi lain ke tempat terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat.
d.      Sel Tc (cytotoxic): berkemampuan untuk menghancurkan sel allogeneic dan sel sasaran yang mengandung virus.
e.       Sel B
Sel yang berploriferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu membentuk dan melepan antibody atas pengaruh sel T. macam macam antibody yang dihasilkan
f.       Ig G : berjumlah 75% dari seluruh Imunoglobin, terdapat dalam jaringan & serum (darah, cairan SSP) mengaktifkan sistem komplemen sehingga berperan dalam imunitas selular Ig G dapat menembus plasenta masuk k fetus
g.       Ig A: berjumlah 15% dari seluruh Imunoglobin, terdapat dalam cairan tubuh (darah,saliva,air mata, ASI, sekret paru, GI, dll), Ig A dpt menetralisir toksin & mencegah terjadinya kontak antara toksin dgn sel sasaran
h.      Ig M : berjumlah 10% dari seluruh Imunoglobin, Merupakan antibodi pertama yang dibentuk dalam respon imun, kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen, dapat mencegah gerakan mikroorganisme, memudahkan fagositosis & aglutinator kuat terhadap antigen
i.         Ig D : berjumlah 0,2% dari seluruh Imunoglobin, merupakan komponen utama pada permukaan sel B & penanda dari diferensiasi sel B yang lebih matang, Ditemukan dgn kadar rendah dlm sirkulasi
j.        Ig E : berjumlah 0,004% dari seluruh Imunoglobin, Ig dengan jumlah tersedikit namun sangat efisien, terdapat dalam serum, mudah diikat oleh mast cell, basofil & eosinofil yang pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dr Ig E.
Sifat-sifat respon imun
Usaha respon imun, yaitu melenyapkan benda antigenic yang cepat,dilakukan oleh tubuh hospes melalui dua macam cara :
1.      Jenis respon yang pertama, respon imun humoral dipengaruhi oleh immunoglobulin,gamma globulin darah yang disintesis oleh hospes akibat respon terhadap masuknya.
2.      Jenis respon yang kedua,reaksi yang diperantarai sel, dilakukan langsung oleh limfosit yang sudah berproliferasi akibat respon terhadap pemasukan antigen dan yang mengadakan reaksi khas dengan antigen (tampa intervensi immunoglobulin
3.      Reaksi-reaksi imunologis, apakah diperantarai antibody immunoglobulin atau secara langsung oleh sel-sel, memperlihatkan sifat pengenalan diri.
4.      Suatu sifat ke dua dari respon imunologis adalah memori, berdasarkan reaktif khusus yang berlangsung lebih cepat pada pemasukan antigen yang berulang.

Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Imun
1.      Usia
a.       Penurunan kemampuan untuk bereaksi secara memadai terhadap mikroorganisme yang menginvasinya.
b.      Terganggunya produksi limfosit B dan T.
c.       Kulit tipis, tidak elastic, neuropati perifer, penurunan sensitabilitas serta sirkulasi yang menyertainya ulkus statis dan dekubitus.
2.      Gender
 Estrogen 
a.       Memodulasi aktivitas limfosit T khususnya sel T supresor
b.      Mengaktifkan populasi sel-sel B berkaitan dengan autoimun yang mengekspresikan marker CD5
c.       Cenderung menggalakkan imunitas, sedangkan androgen=imunosupresifmempertahankan produksi IL-2 dan aktivitas sel T supresor
d.      Androgen
e.       Lebih sering pada wanita terkait dengan estrogen






















SKEMA















DAFTAR PUSTAKA
1.      Buku Ajar Alergi Imunologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi 2.
2.      Hardegree MC, Tu AT (eds): Handbook of Natural Toxins. Vol.4: Bacterial Toxins. Marcel Dekker, New York, 1988